Alkisah, ada seorang pemuda Jawa-Deli yang bekerja se-hari� sebagai Mandor Perkebunan. Walaupun jabatannya adalah mandor, tetapi sifat pekerjaan se-hari� banyak menguras tenaga fisiknya. Pemuda Jadel ini, sebut saja namanya Beno, telah mempunyai pacar seorang gadis Batak asli yang se-hari� dipanggil Butet. Singkat cerita, keduanya kemudian menikah. Minggu� pertama yang namanya pengantin baru, ya lancar� saja. Tetapi baru saja perkawinan mereka berjalan 1,5 bulan lebih dua minggu, Beno mulai mengeluh. Rupanya Butet ini punya penyakit yang boleh dibilang enak�, ngga-enak. Penyakit tersebut, kalau itu bisa diklasifikasikan sebagai 'penyakit', adalah nymphomania atau hyper-sex. Tiap hari 'nagih' dan nggak cukup sekali dua. Padahal si Beno setiap hari kalau pulang, sering merasa capai dan ngantuk. Akhirnya karena nggak tahan, Beno membawa Butet untuk konsultasi ke Mantri Perkebunan. Setelah diceritakan persoalannya, akhirnya Pak Mantri memberi saran ke Beno dan Butet agar kalau 'main' jangan tiap hari. Tapi supaya diatur pada hari� yang ada huruf 'u'-nya, seperti Rabu, Sabtu atau Minggu. Keesokan harinya, pada saat Beno baru pulang kerja, si Butet sudah mulai me-rayu�. Beno yang sudah paham akan tingkah lakunya kemudian berkata: "Ah, kau ini Butet! Kan baru hari Senin kemarin kita ke Pak Mantri, sekarang kau sudah nagih pula. Memangnya sekarang hari apa Butet?" Butet kemudian menjawab: "Ya kan sekarang hari SULASA Bang. Kalau di Batak bacanya memang Sulasa Bang. Boleh dong, kan ada 'u'-nya." "Mak!, kalau begini caranya tiap hari juga jadinya," pikir Beno. Karena cara pertama gagal, Pak Mantri memberi strategi lain. "Sekarang begini saja deh," kata Pak Mantri. "Opung anjurkan pakai sistim bayaran aja. Siapa yang 'ngajak' duluan," petuah Pak Mantri lagi, "dia musti bayar dimuka ke partnernya. Rp 5.000 kalau mainnya di lantai, Rp 10.000 di sofa, atau Rp 20.000 di tempat tidur." Baru kemarin ke Pak Mantri, besoknya saat Beno pulang kerja, Butet sudah duduk santai di sofa ruang tamu. Kakinya menyilang agak diangkat sambil me-ngipas� uang sepuluh ribuan dua lembar. Pada saat Beno masuk, Butet pura� tak melihatnya sambil tetap me-ngipas� uang yang dipegangnya. Beno yang sudah paham betul segala tingkah laku Butet, menarik napas lega begitu melihat uang yang dipegang Butet. "Ah, dua puluh ribu. Lumayan di tempat tidur, ngga terlalu capai," pikir Beno. "Sebentar Butet ya," kata Beno. "Abang mandi dulu. Kau tunggulah dulu di tempat tidur." Beno sambil ber-siul� kecil melenggang lenggok menuju kamar mandi. Baru beberapa langkah mendadak berhenti. "Kenapa musti ke tempat tidur Bang?" tanya Butet. "Itu kau pegang dua puluh ribu Butet," jawab Beno dengan sedikit cemas. "Ingat perjanjian kita di Pak Mantri kemarin?" "Ya, Butet ingat betul Bang," kata Butet lagi. "Tapi ini dua puluh ribu bukan buat di tempat tidur Bang. Tetapi buat main di LANTAI EMPAT KALI..."